VHRmedia, Jakarta - Hukum Indonesia dinilai belum mampu memberikan keadilan kepada masyarakat yang tertindas. Justru sebaliknya, hukum menjadi alat bagi pemegang kekuasaan untuk bertindak semena-mena.
Demikian pernyataan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), Asep Yunan Firdaus dalam seminar "Stagnasi Hukum di Indonesia" di Jakarta, Kamis (5/8). "Dalam situasi seperti ini, hukum sedang berada pada kondisi stagnan yaitu, situasi dimana negara gagal menjadikan sistem dan praktik hukum memberikan keadilan kepada masyarakat miskin dan paling tertindas."
HuMa memandang ada tujuh faktor utama yang menyebabkan stagnasi hukum di Indonesia. Pertama, politik dan arah pembaruan hukum yang elitis. Kedua, kualitas legislasi nasional dan daerah yang rendah. Ketiga, penegakan hukum yang sarat korupsi dan melahirkan mafia hukum. Keempat, lembaga peradilan tidak mewujud menjadi agen dan ujung tombak pembaharuan hukum. Sementara itu yang kelima dikatakan bahwa, Mahkamah Konstitusi sebagai The Guardian of the Constitution lebih banyak dimanfaatkan oleh kelompok elit. Sedangkan yang keenam huma menyebutkan, pendidikan hukum yang bergeser orientasinya menjadi pelayan pasar.
"Terakhir, ketidakmampuan institusi hukum dan pemerintah menyelesaikan konflik yang melibatkan rakyat banyak dan miskin dengan cara-cara yang memenuhi rasa keadilan rakyat," ujar Asep.
Menurut Asep, politik dan arah pembaharuan hukum di Indonesia cenderung elitis. Karena agenda-agenda pembaharuan hukum sejatinya masih state centered maupun imposed by international organization yang memiliki akses terhadap kekuasaan legislatif dan eksekutif.
Pada ranah legislasi, DPR bukan hanya mampu memenuhi 68% target pembahasan RUU dan kualitasnya pun banyak yang kontroversial, seperti Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), UU Pornografi, UU Investasi, dan sebagainya. Selain itu, dalam penegakan hukum juga tidak lepas dari jual beli pasal (legal commodification) dan suburnya mafia hukum (broker/makelar).
"Penegakan hukum tidak bertarung menghadapi kejahatan kerah putih seperti kasus BLBI, Century, lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, pembalakan liar, dan penggusuran tanah masyarakat. Sebaliknya, penegakan hukum begitu tegas terhadap Nenek Minah, Manisih, Toro dan Pori, Lanjar dan Masyarakat Samin," kata Asep.
Sementara itu Koordinator Eksekutif LC HuMa, Mirna Safitri menambahkan, penegakan hukum di Indonesia seperti mata tombak yang tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Misalnya Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga peradilan tertinggi, cenderung lebih banyak absen dalam agenda pembaharuan hukum. MA tidak hadir sebagai pemimpin dan motor penggerak pembaharuan hukum di Indonesia. Selain itu, Mahkamah Konstitusi (MK), justru lebih banyak dimanfaatkan oleh Politikus dan Elit.
Dari penelitian atas 478 putusan MK, setidaknya pemohon dari kalangan partai politik berjumlah 232 (48,5%), disusul kelompok elit/melek hukum berjumlah 205 (42,8%) dan sisanya 6,4% adalah permohonan yang diajukan oleh publik (rakyat yang didukung oleh LSM, Lembaga Perguruan Tinggi/Mahasiswa, Lembaga Keagamaan, Lembaga Tradisional).
Ditambahkan oleh Mirna, kacau balaunya tatanan hukum di Indonesia juga didorong oleh kecenderungan Pendidikan Tinggi Hukum (PTH) tidak memiliki perspektif keadilan sosial ke dalam kurikulumnya. Otonomi PTH lebih banyak mendorong penyediaan lulusan sesuai keinginan pasar.
"Jika faktor penyebab stagnasi hukum tidak segera dicarikan jalan keluarnya, dimana sistem dan praktik hukum kita tidak akan lagi mampu memberikan keadilan kepada rakyat miskin dan tertindas, maka stagnasi ini akan berujung pada kematian negara hukum Indonesia," kata Mirna. (*)
sumber : http://www.vhrmedia.com